Ini Faktor Penyebab Timnas U19 Gagal di Myanmar
Menurut Salah Seorang pengaat sepakbaola, ada beberapa faktor yang menyebabkan kekalahan dan hasil buruk yang dialami Timnas Garuda Jaya, Apa penyebabnya ?, Lanjutkan Membaca
Selesai sudah perjuangan Tim Nasional U-19 di Piala Asia. Dua kekalahan dari Uzbekistan dan Australia sudah menutup peluang “Garuda Jaya” berkiprah lebih jauh. Hasil yang mengecewakan, tentu saja. Jangankan menggapai mimpi tampil di Piala Dunia yunior di Selandia Baru tahun depan, untuk lolos dari grup saja tak mampu.
Padahal asa demikian melambung sebelumnya, tatkala tim ini mampu menjuarai AFF, dan lolos ke AFC U-19 di Myanmar ini. Saat itu mereka begitu menjanjikan, apalagi melihat penampilan mereka yang sangat atraktif, militan dan berkelas, saat melibas Korea Selatan, salah satu raksasa sepakbola Asia.
Saking berkesannya, kemenangan atas Korea itu senantiasa disebut-sebut setiap saat, seolah itu sudah menjadi brand image yang menjadi simbol kehebatan Timnas U-19. Kurang lebih seperti timnas kita pernah menahan Uni Sovyet 0-0 di Olimpiade 1956. Lembaran sejarah yang terus dibalik-balik dan dibaca lagi, walau sudah setengah abad lebih lamanya. Karena memang tak ada hal yang bisa lebih membanggakan dari kenangan masa lalu itu.
Untuk kasus U-19 ini, mayoritas rakyat Indonesia langsung terbius, tergila-gila, dan memuja-muji Evan Dimas dan kawan-kawan. Mungkin karena ada harapan yang tiba-tiba muncul di tengah kegersangan prestasi sepakbola negeri ini. Di mata publik telah lahir sebuah timnas yang punya masa depan cerah.
Meskipun terkadang publik kita kebablasan, lebay, atau apalah istilahnya terhadap tim ini. Puja-puji berlebihan, tim yang tak boleh disentuh. Jangan coba-coba kritik tim ini, kalau tak ingin di-bully ramai-ramai di media sosial misalnya.
Begitu pun kepongahan sang pelatih yang kerap berkomentar ke langit, optimis berlebihan, dan menyepelekan lawan, juga dianggap sah-sah saja. Bahkan itu dianggap era baru, bahwa kita tak zamannya lagi memakai gaya bahasa merendah, karena tim kita sudah sejajar dengan tim negara manapun, bahkan Eropa. Bahkan ada yang menyebut, gaya bicara sang pelatih itu adalah bagian dari revolusi mental ala sepakbola Indonesia. Benarkah?
Entahlah, tapi yang jelas siapa yang tidak kasihan sekaligus geram melihat perjuangan para pemain Garuda Jaya di lapangan saat melawan Australia, Minggu sore itu. Mereka sepertinya telah berusaha mengeluarkan segala yang mereka punya, tetapi ketika mereka bermain tidak dengan mental dan hati yang sama seperti saat AFF U-19 dan kualifikasi AFC U-19, mereka pun tak lagi terlihat spesial. Sampai di sini, lahir satu pertanyaan, siapa yang telah ‘merusak” tim pujaan bangsa ini?
Pertama, siapa sesungguhnya yang punya ide dagelan konyol bernama Tur Nusantara, bahkan sampai dua episode. Tapi yang jelas, ide tersebut sudah menjadi awal menukiknya, kalau terlalu kasar disebut kehancuran Garuda Jaya. Mereka diforsir sedemikian rupa hampir tiap pekan, show di televisi, melawan tim-tim lokal dengan satu pesan, jangan terlalu keras pada Garuda Jaya, mereka aset bangsa, dan biarkan mereka menang.
Kedua, siapa pula yang punya ide membatalkan keikutsertaan mereka di Piala Cotif di Spanyol, dan mengalihkan mereka ke Hassanal Bolkiah Trophy di Brunei? Ini ibarat sebuah pukulan palu bagi para anak muda itu, dan telah meruntuhkan segalanya. Impian bermain dan mencoba unjuk kemampuan bersama tim-tim sebaya dari negara-negara yang hebat sepakbolanya, tercerabut dengan telaknya.
Mereka masih terlalu muda untuk bisa menetralisir perlakuan tersebut. Tak heran, di HBT mereka seperti kehilangan segalanya dan jadi bulan-bulanan lawan. Bahkan pelatih yang jago motivasi dan selalu bicara tentang kebanggaan berbangsa dan bela negara itu tak mampu membangkitkan mental anak asuhnya yang terpuruk.
Ketiga, sebuah kesalahan fatal lagi, usai tragedi Brunei, mereka tiba-tiba dikirim ke Spanyol untuk berujicoba dengan tim-tim B atau tim akademi klub-klub elit Spanyol. Jelas itu bukan tandingan Timnas U-19, yang kedatangannya ke Spanyol hanya seperti hendak menghibur Garuda Muda agar tak kecewa berlarut-larut setelah batal turun di Cotif. Tujuan ke sana dibalut dengan kata-kata manis, untuk belajar dan menimba pengalaman.
Celakanya, berujicoba ke Spanyol yang mulai memasuki musim dingin, ketika pertempuran ajang sesungguhnya hanya tinggal tiga minggu lagi di Myanmar yang bercuaca panas. Entah siapa pula yang punya ide program persiapan yang sungguh brilian ini?
Bagaimana tidak, pada fase itu seharusnya tahap persiapan bukan lagi belajar atau mencari pengalaman, tapi sudah mematangkan tim menuju hari-hari pertempuran yang makin dekat. Uji coba pun seharusnya dengan tim yang levelnya di bawah, agar bisa menang dan bisa membangkitkan dan menjaga kepercayaan diri.
Ironis, di Spanyol itulah uji coba terakhir mereka sebelum turun ke medan perang sesungguhnya di Myanmar. Garuda Jaya memasuki medan pertempuran dengan membawa modal kekalahan-kekalahan telak dari Spanyol. Kesannya mereka seolah diajarkan agar terbiasa dengan kekalahan.
Ditambah pelatih yang tak punya variasi taktik, pola, skema atau apalah namanya. Gaya bermain yang begitu-begitu saja, paling hanya mengganti orang di tiap posisi, ternyata tak banyak membantu. Lima skema alternatif yang disebut sebagai senjata rahasia yang disampaikan pelatih ketika detik-detik menjelang bertolak ke Myanmar, juga tak terlihat.
Yang ada hanya gaya bermain Garuda Jaya sudah terlalu familiar bagi lawan, karena untuk laga apapun siaran langsung adalah hal wajib, demi mendapatkan fulus. Memang luar biasa komersialisasi tim ini. Bahkan mereka dijual untuk beriklan, diterbitkan bukunya, dan dibuatkan filmnya, seolah tim ini sudah menjadi juara dunia. Inilah kesalahan terbesar dan menjadikan tim potensial ini jadi salah urus dan salah asuhan.
Tapi sudahlah, jangan salahkan pemain, tapi salahkan mereka yang sudah kemaruk dan tega menunggangi tim harapan masa depan ini dengan rakusnya. Bagaimanapun para pemain itu tetaplah anak-anak muda lugu dari berbagai pelosok Indonesia yang punya bakat, kepandaian, menitipkan masa depan dengan bermain bola, serta punya sedikit kebanggaan bisa membela negaranya di lapangan sepakbola.
Well, setelah ini mereka bisa terjun ke klub-klub dan meneruskan impian dan cita-cita masa depan mereka di sana. Walau seburuk apapun klub-klub dan kompetisi Indonesia, tapi hanya kompetisilah yang akan terus mematangkan mereka. Kalau ada yang beruntung bermain di luar negeri dengan iklim sepakbola dan kompetisi yang lebih sehat, itu akan sangat bagus bagi mereka.
Di mana-mana, hanya kompetisi yang membuat seorang pemain bisa mencapai puncaknya, bukan mereka yang dikurung berbulan-bulan dalam TC atau diajak showtime keliling negeri untuk kepentingan televisi dan dijual popularitasnya ke publik.
Kita hanya bisa berharap, para pemain ini tetap tegar, bersemangat, dan terus menatap masa depan mereka yang sesungguhnya masih amatlah panjang. Karena AFC U-19 ini bukanlah akhir dari segalanya. Justru ini menjadi awal untuk menjejak karir lebih tinggi. Bahkan jika pandai merawat karir, mereka akan berada di garis terdepan untuk menjadi pilar-pilar timnas senior di masa depan.
Untuk pelatih Indra Sjafri, hanya satu saran untuknya. Kembalilah berkelana ke pelosok-pelosok Indonesia, cari dan orbitkan sebanyak-banyaknya bibit dan talenta-talenta sepakbola muda dan segar yang Anda temukan. Anda yang terbaik soal ini di Indonesia.
Sekali-kali jangan tergiur untuk menukangi klub-klub pasca Timnas U-19 ini. Saya pastikan itu bukan tempat yang baik untuk Anda.
Sumber : Komentar Harian Singgalang oleh Syafrizal
http://hariansinggalang.co.id/garuda-jaya-yang-salah-urus/