Kumpulan Ceramah dan Kultum Ramadhan
Berikut sedikit saya share kumpulan beberapa ceramah ramadhan dan kultum ramadhan, diambil dari beberapa sumber blog dan website teman. Semoga Bermanfaat buat yang lagi belajar dan ingin mengembangakan ilmu dakwah.
Pemahaman terhadap Agama
Ada 3 hal penting yang sering disebut diperlukan oleh setiap seorang Mukmin yaitu iman, ilmu dan amal. Ketiga hal tersebut saling berkaitan dan harus dimiliki untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Untuk dapat beramal dengan benar, maka seseorang harus memiliki ilmu. Beramal tanpa ilmu akan menimbulkan banyak kerusakan. Sebagai contoh, seseorang yang tidak mengetahui hakikat puasa, maka dia berpuasa hanya menahan haus dan lapar saja, tidak menahan ucapan atau perbuatan keji yang dapat merusak ibadah puasa.
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Barang siapa yang beramal tanpa didasari ilmu, maka unsur merusaknya lebih banyak daripada mashlahatnya” (Sirah wa manaqibu Umar bin Abdul Azis, oleh Ibnul Jauzi).
Orang yang ikhlas beramal, tetapi tidak memiliki pemahaman yang benar dapat merusak amalannya dan bahkan dapat memberikan madhorot kepada orang lain. Rasulullah SAW pernah menyampaikan bahwa adalah orang yang sesat padahal mereka melaksanakan sholat, puasa, dan amalan lainnya yang sangat banyak.
Rasulullah SAW bersabda, “(Ada sekelompok kaum), mereka menganggap sholat yang dilakukan oleh kamu sangat kecil bila dibandingkan sholat mereka, dan puasanya dianggap lebih rendah dari puasa mereka. Mereka membaca Al Quran, tetapi tidak melampaui kerongkongan mereka.” (Fathul Bari 6/714).
Imam Ibnu Taimiyah berkata: “Meskipun sholat, puasa dan tilawah Quran mereka banyak, namun mereka keluar dari kelompok ahlus Sunah wal Jamaah. Mereka adalah kaum ahi ibadah, wara’ dan zuhud, tetapi itu semua tidak didasari dengan ilmu.”
Maksudnya mereka beribadah dan membaca Al Quran, tetapi amalan tersebut dilaksanakan hanya sebagai rutinitas, tanpa pemahaman terhadap apa yang dilakukan. Mereka memahami ibadah itu suatu perintah yang harus dilaksanakan tanpa memahami hikmah dibaliknya.
Terkadang pelaksanaan ibadah dibuat untuk rutinitas saja. Ada pelaksanaan sholat Jumat berjamaah dengan khutbah yang berisi nasihat dari beberapa ayat Quran dan doa yang sudah tertulis pada beberapa lembar kertas. Dan cara ini sudah dilakukan bertahun-tahun. Tentu saja sangat disayangkan jamaah yang sholat Jumat di masjid tersebut. Tidak ada nasehat atau taujih yang dapat dipahami dan amal yang dapat dilaksanakan.
Terdapat cerita nyata pada suatu perumahan dimana beberapa ibu rumah tangga terjerat hutang dengan rentenir yang memberikan pinjaman uang dengan bunga yang mencekik. Ternyata para rentenir terebut adalah ibu-ibu yang terlibat aktif dalam pengajian pekanan. Kisah ini menunjukkan bahwa kegiatan pengajian rutin yang dilaksanakan tidak memberikan dampak positif pada aktifitas muamalah yang dilakukan.
Keutamaan seseorang bukan didasarkan pada banyaknya ilmu, hafalan atau amalan, akan tetapi dilihat dari benar dan dalamnya pemahaman terhadap agama Islam secara menyeluruh. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Satu orang faqih itu lebih berat bagi setan daripada seribu ahli ibadah.” HR. Tirmidzi.
Sahabat Umar bin Khathab ra juga pernah berkata, “Kematian seribu ahli ibadah yang selalu sholat di waktu malam dan berpuasa di siang hari itu lebih ringan daripada kematian orang cerdas yang mengetahui halhal yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah.”
Bagusnya pemahaman terhadap agama mengalahkan faktor yang lainnya. Sebagai contoh, khalifah Umar bin Khathab ra pernah mengangkat sahabat Ibnu Abbas ra yang pada saat itu masih berusia 15 tahun untuk menjadi anggota majelis syuro. Umar bin Khathab ra menjulukinya sebagai “pemuda tua” karena ketinggian pemahamannya pada usia yang sangat muda.
Oleh karena itu berusahalah kita mendapatkan pemahaman yang benar terhadap Islam yaitu pemahaman yang jernih, murni, integral dan universal. Hal ini akan menyelamatkan kehidupan kita di dunia dan akhirat. Ibnul Qayyim pernah berkata,“Benarnya kepahaman dan baiknya tujuan merupakan nikmat terbesar yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Tiada nikmat yang lebih utama setelah nikmat Islam melebihi kedua nikmat tersebut. Karena nikmat itulah seseorang memahami Islam dan komitmen pada Islam. Dengannya seorang hamba dapat terhindar dari jalan orang-orang yang dimurkai, yaitu orang yang buruk tujuannya. Juga terhindar dari jalan orang-orang yang sesat, yaitu orang yang buruk pemahamannya, serta akan menjadi orang-orang yang baik tujuan dan pemahamannya.”
Wallahu a’lam.
Pentingnya Menghafal dan Memahami Al Quran
Al Quran diturunkan kepada Muhammad Rasulullah SAW selama 23 tahun masa kerasulan beliau. Al Quran di turunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW dengan perantaraan malaikat Jibril. Malaikat Jibril menurunkan Al Quran ke dalam hati Rasulullah dan beliaupun langsung memahaminya. Hal ini disebutkan dalam Al Quran surat Al Baqarah (2) : 97.
Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Kemudian Rasulullah SAW mengajarkan Al Quran itu kepada para shahabatnya. Mereka menuliskannya di pelepah daun daun kering, batu, tulang dll. Pada saat itu belum ada kertas seperti zaman modern sekarang ini. Kemudian para shahabat langsung menghafalnya dan mengamalkannya. Demkian Al Qur;an di ajarkan kepada para shahabat-shahabat yang lain. Al Quran difahami dengan menghafal. Bukan dengan sekedar membaca.
Pada saat Rasulullah telah wafat, banyak terjadi peperangan. Dalam peperangan Yamamah misalnya , banyak para sahabat pemghafal Quran yang syahid. Melihat kondisi ini Umarpun meminta Abu bakar sebagai khalifah untuk membuat Mushaf Al Quran. Abu bakar sempat menolak. „ Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak lakukan ?“ ujar beliau. Tapi dengan gigih Umar bin Khattab menjelaskan urgensinya pembuatan Mushaf bagi kepentingan kaum muslimin di masa yang datang. Akhirnya Abu Bakarpun dapat diyakinkan dan kemudian setuju dengan ide Umar bin Khattab.
Abu Bakarpun lalu meminta Zaid bin Haritsah untuk melakukan tugas ini. Zaid bin Haritsah pun sempat berkata : „ Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak lakukan ?“. Tapi akhirnya Zaidpun setuju dan mulai mengumpulkan shahifah-sahhifah yang tersebar di tangan para shahabat yang lain. Batu, daun-daun kering, tulang dll itupun disimpan di rumah Hafsah.
Barulah pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, Mushaf Al Quran selesai sebanyak 5 buah. Satu disimpan Utsman dan 4 yang lain disebar ke : Makkah, Syria, Basrah dan Kufah. Jadi pada saat itu para shahabat, tabi’it dan thabi’i tabiin mempelajari al Quran dengan menghafal karena jumlah Mushaf yang sangat sedikit.
Bagaimana dengan kondisi zaman sekarang? Bila kita perhatikan di sekitar kita, diantara teman-teman dan keluarga kita, ada berapa persen diantara mereka yang hafal Al Quran ? Berapa persen yang sedang menghafal Al Quran? Mungkin kita susah memberikan persentase karena dihitung dengan jari-jari tangan kita belum tentu genap semuanya.
Kaum muslimin saat ini masih cukup berpuas diri dengan membaca Mushaf Al Quran dan tidak memahami maknanya. Padahal membaca Al Quran baru langkah awal interaksi Al Quran. Al Quran sebagai petunjuk bagi kita tidak cukup dibaca tapi juga dihafal dan difahami.
Mungkin ada sebagian yang berkata mengapa perlu menghafal ? Tidakkah cukup dengan membaca Mushaf dan membaca tarjemahan ? Ternyata tidak cukup. Dengan menghafal Al Quran ada „rasa“ (atau zauk) yang diberikan Allah kepada hati kita. Rasa ini didapat karena ayat-ayat yang dibaca berulang-ulang. Pengulangan kalam-kalam suci itulah yang menjadi „makanan“ untuk hati. Dan sesuai dengan ayat di Al Baqarah : 97 diatas, Al Quran itu diturunkan di hati Nabi Muhammad. Bukan di akal fikiran beliau. Artinya Al Quran itu konsumsi/makanan hati bukan sekedar fikiran.
Rasa inilah yang menjadikan kita nikmat mengenal Allah, memahami kehendakNya dan ringan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya. „ Rasa „ ini kurang ada juga sedikit ketika kita hanya membaca. Apalagi bila membacanya tidak diiringi dengan pemahaman artinya. Dan membaca tidak diulang-ulang. Efeknya sangat berbeda dengan mengulang-ulangnya.
Kaum muslimin saat ini cukup berpuas diri dengan membaca „buta“ Al Quran dan menimba ilmu dari para ustadz, kiai dan pemuka-pemuka agama. Tanpa menghilangkan rasa hormat kepada para penyampai-penyampai risalah agama, kita sebagai hamba Allah, secara individual juga mempunyai kewajiban berusaha memahami Al Quran dari aslinya langsung dari firman-firmanNya.
Bila kita menghafal dan mentadaburi Al Quran maka Allah akan mengajarkan kepada kita pengetahuan melalui hati kita dengan perantaraan ilham. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Asy Syams ayat 8-10:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.“
Ilham ini dapat dirasakan dengan dalam hati kita. Bukankah kita pernah bingung tentang suatu masalah, kemudian pada suatu saat kita, „cling“ mememukan cara untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Itulah ilham.
Atau ilham itu sebagai furqan atau pembeda mana-mana amal yang haq dan mana-man yang bathil. Sebagai misal ketika kita masuk ke tempat maksiat maka hati kita akan terasa tidak enak, tidak nyaman. Itulah peringatan dari hati kita yang bersih. Furqan inilah yang dibutuhkan di dalam kehidupan ketika berperang dengan bisikan-bisikan syaithan yang membujuk-bujuk kita untuk berbuat maksiat dengan iming-iming duniawi yang menggiurkan. Karena itu sangatlah kita memerlukan furqan yang menjadikan kita mantap mengetahui yang haq dan yang bathil. Seperti disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam surat Al Anfaal ayat 29:
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Al Quran juga sebuah petunjuk/pedoman hidup bagi kita kaum muslimin :
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(QS Al Baqarah : 2)
Jadi intinya Al Qu’an adalah pedoman hidup. Tapi hanya segelintir orang yang hafal dan faham Al Quran. Bagaimana Al Quran bisa menjadi pedoman hidup seorang muslim secara individual bila membaca dan memahaminya secara tuntas saja belum dilakukan ? Dan banyak diantara kaum muslimin yang meninggal dalam keadaan belum pernah membaca dengan tuntas Al Quran.
Bayangkan apabila kita akan pergi ke puncak Gunung Semeru. Sebelum pergi kita dibekali dengan peta, rambu-rambu dan petunjuk-petunjuk oleh seorang pendaki gunung profesional. Tetapi kita tidak memahami petunjuk-petunjuk tersebut. Apakah kita dijamin akan sampai di puncak gunung semeru dengan selamat ? Kita mungkin lebih senang bertanya dengan penduduk setempat. Bila kita bertemu dengan penduduk yang sangat kenal gunung semeru mungkin kita akan sampai dengan selamat. Tetapi bila orang kita tanya juga kurang faham jalan ke puncak gunung, akankah kita sampai ke puncak dengan selamat atau mungkin kita bisa tersesat ? Padahal bila kita memahami, petunjuk, peta dan juga bertanya maka kita akan mendapat jalan pintas untuk sampai ke puncak gunung.
Memang solusi pemahaman Al Quran ini tidak akan dapat berhasil bila sistem pendidikan agama tidak berjalan intensif sejak dini. Sebagai permisalan, bahasa Inggris diajarkan sejak SD. Maka kita lihat ketika lulus SMA para mahasiswa sudah bisa belajat dari diktat berbahas Inggris. Bila sistem ini diterpakan juga untuk bahasa Arab (sebagai media inti pemahaman Al Quran) maka ketika berumur 20-25 seorang muslim sudah mulai bisa memahami Al Quran dengan mandiri.
Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin, memahami Al Quran bukan fardhu kifayah yang dibebankan kepada ulama, kiai atau ustadz. Tapi seperti dicontohkan oleh para sahabat, membaca, menghafal, memahami dan melaksanakan Al Quran dilakukan sebagai kewajiban indivial setiap kaum muslimin. Bila secara individu seorang muslim meningkat kualitasnya, keluarga yang dibinanya juga akan berkulaitas sehingga akhirnya sebuah masyarakat madani yang dirindukan selama ini juga dapat terwujud.
Demikianlah renungan kita tentang Al Quran. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita semua sehingga kita menjadi orang-orang yang mencintai Al Quran, membacanya, menghafalkannya, memahaminya dan mengamalkannya.
Wallahu alam bi shawab
DIMENSI TAUHID DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu jasmani dan ruhani, raga dan jiwa, atau badan dan ruh. Kedua unsur tersebut memiliki peranan yang sangat penting bagi keberadaan dan kehidupan manusia. Namun demikian, dalam tasawuf ruh mempunyai kelebihan tersendiri dibanding dengan badan, karena ruh diyakini memiliki unsur ketuhanan. Menurut para sufi, materi ruh manusia berasal dari ruh Tuhan sendiri, sesuai dengan firman Allah yang terdapat pada QS. al-¦ijr [15]: 29, sebagai berikut:
فإذا سويته ونفهت فيه من روحى …..
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku…” (QS. al-¦ijr [15]: 29).
Pada awal dari eksistensinya, ruh berada di alam azali, yaitu suatu alam yang merupakan awal keberadaan. Pada saat ini ruh berada bersama dengan Tuhan Sang Pencipta dengan segala sifat-sifat kebaikan-Nya. Sebagai Yang Maha Pencipta, Ia juga bersifat Maha Suci, yang artinya tiada sesuatu yang merupakan noda ada pada-Nya. Sementara itu, karena bersama dengan Tuhan Yang Maha Suci, maka mestilah ruh juga berada dalam kesucian. Artinya bahwa ketika itu ruh hanya mengenal Tuhan dan sifat-sifat yang dimiliki. Tidak ada sesuatu yang diketahui selain Tuhan. Sehingga seluruh perhatian ruh hanya tertuju kepada Tuhan dan tidak kepada yang lainnya. Inilah kebahagiaan, kedamaian, dan kenikmatan yang dirasakannya ketika berada bersama dengan Tuhan Yang Maha Suci. Pada fase ini semua ruh mengakui dan telah bersaksi bahwa hanya Allah semata yang menjadi Tuhan mereka. Tak satupun dari ruh-ruh itu yang mengatakan adanya Tuhan yang lain atau yang mengakui dirinya tak bertuhan. Semua sepakat bahwa Allah adalah Tuhan mereka Yang Esa. Ikrar para ruh itu telah diabadikan dalam al-Qur’an pada surah al-A`r±f [7]: 172, sebagai berikut:
…وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا ….
“… dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS. al-A`r±f [7]: 172).
Pada saat tahap selanjutnya dari keberadaan yang dilalui tiba, ruh harus meninggalkan alam azali untuk ditiupkan ke dalam janin yang berada dalam rahim atau kandungan seorang wanita. Kemudian, setelah sampai waktunya, lahirlah ia ke alam dunia yang merupakan fase ketiga dari kehidupannya. Inilah fase terpenting dari keberadaannya. Sebab pada tahap inilah, ruh akan ditentukan bagaimana kehidupan yang akan dialami pada fase-fase yang akan datang. Di alam dunia ini, ruh yang telah masuk ke dalam badan manusia mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan diri dengan memotifasi jasmani dalam melakukan tindakan-tindakan yang terpuji agar ia mendapat pahala dari kebaikannya, atau sebaliknya justru berbuat yang tidak baik dan melanggar aturan Ilahi, sehingga kelak akan mendapat balasan yang setimpal, baik pada waktu berada di dunia maupun di alam selanjutnya.
Sejak keberadaannya di alam dunia, ruh mulai mengenal materi-materi di sekitarnya selain Tuhan. Pada pengenalannya itu, ia mengetahui bahwa sebagian dari benda-benda tersebut dapat memberikan kenikmatan atau kesenangan pada jasmaninya. Pada tahap ini semua ruh kemungkinan besar akan terpesona dan terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat keduniawian tersebut, sehingga ia terperosok untuk hanya memikirkan dan menikmati kesenangan duniawi. Hal ini pada giliran selanjutnya akan menyebabkan ruh melalaikan Tuhannya dan perhatiannya hanya terpusat pada materi yang membawa kesenangan jasmani. Kondisi seperti ini, dalam ajaran tasawuf disebut ruh yang telah terkotori oleh kenikmatan duniawi. Keadaan tersebut akan mengakibatkan ia berada jauh dari Tuhan Yang Maha Suci. Ia tidak lagi dapat mendekatkan diri disebabkan kotoran duniawi yang menjadi perhatiannya.
Ketika seseorang akan memeluk Islam, secara sadar ia diwajibkan mengucapkan ikrar syahadat. Pada dasarnya syahadat yang pertama (Syahadat Tauhid) yang berisi kesaksian kepada Tuhan Yang Esa adalah untuk mengingatkan kembali pada janji yang telah dibuat pada masa azali. Syahadat itu seolah-olah merupakan suatu teguran yang bila diungkap akan menjadi pertanyaan mengapa yang telah berjanji untuk bertuhan hanya kepada Allah, kini ia dapat mengakui pula selain Dia sebagai tujuan ibadah, tempat minta tolong, tempat mencari berkah, dan lain sebagainya. Selain itu, ikrar tersebut juga untuk mengingatkan ruh manusia bahwa ia pada masa itu adalah dalam keadaan suci, yaitu hanya kepada Tuhan semata pusat perhatiannya tertuju, dan bukannya kepada kesenangan serta kenikmatan duniawi seperti saat berada di dunia, yang telah membawanya lupa akan asal dan tempat kembali kelak. Dengan Syahadat Tauhid, ruh telah diajak untuk kembali kepada keadaan semula, yaitu dalam kesucian. Ikrar tersebut dimaksudkan untuk memotivasi ruh agai ia dapat memusatkan kembali perhatiannya kepada Tuhan, dan tidak hanya tertuju kepada benda-benda duniawi yang tidak langgeng.
Syahadat Tauhid juga merupakan peringatan bahwa tujuan jangka panjang dari kehidupan manusia adalah bersatu bersama dengan Tuhan. Dalam teori sufisme kebersamaan dengan Allah itu dapat mengambil bentuk Ittihad dan Hulul. Yaitu bersatunya ruh bersama dengan Tuhan. Peristiwa ini merupakan suatu kenikmatan dan kebahagiaan yang luar biasa bagi ruh. Dalam suasana demikian, ruh sebenarnya kembali kepada keadaan semula seperti ketika berada pada alam azali dahulu.
Ruh akan dapat berada dalam suasana Ittihad atau Hulul, bila ia dapat mensucikan dirinya dari segala kotoran duniawi terlebih dahulu. Ia harus memisahkan dirinya dari segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang bersifat materi. Yang ada dalam perhatiannya hanya Tuhan, dan Ia semata yang menjadi pusat tujuan, sehingga yang lain terasa seolah menjadi tidak ada. Inilah tingkat atau suasana pembersihan jiwa, atau yang dikenal dengan tazkiyatun nafs. Tuhan itu Maha Suci. Tidak mungkin sesuatu dapat berada bersama dengan-Nya, kecuali bila ia dalam keadaan suci pula. Karena untuk bersama dengan Allah, ruh mesti mensucikan diri terlebih dahulu dari hal-hal yang tidak baik dan kotoran duniawi. Bila upaya ini berhasil, maka ruh manusia akan menjadi bersih, suci, dan berada dalam ketenangan dan kedamaian. Ketika itu layaklah ruh untuk kembali kepada Tuhan, sebagaimana ajakan yang diungkapkan dalam QS. al-Fajr [89]: 27-28, sebagai berikut:
ياأيتها النفس المطمئنة. ارجعى إلى ربك راضية مرضية.
“Wahai jiwa (ruh) yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan tulus dan diridhai”. (QS. al-Fajr [89]: 27-28).